Selasa, 03 September 2013

HIPOSPADIA


Pengertian
Hipospadia sendiri berasal dari dua kata yaitu “hypo” yang berarti “di bawah” dan “spadon“ yang berarti keratan yang panjang Hipospadia adalah suatu keadaan dimana uretra terbuka di permukaan bawah penis, skrotum atau peritonium. Hipospadia merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada 3 diantara 1.000 bayi baru lahir.

.   
ETIOLOGI
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa faktor yang oleh para ahli dianggap paling berpengaruh antara lain :
1.  Gangguan dan ketidakseimbangan hormon
Hormon yang dimaksud di sini adalah hormon androgen yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Atau bisa juga karena reseptor hormon androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormon androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormon androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama.
2.   Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
3.   Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.

Patofisiologi 
  •  Terjadi karena adanya hambatan penutupan uretra penis pada kehamilan minggu ke 10 sampai minggu ke 14. Hypospadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembangan uretra dalam utero
  • Gangguan ini terjadi apabila uretra jatuh menyatu ke midline dan meatus terbuka pada permukaan ventral dari penis. Propusium bagian ventral kecil dan tampak seperti kap atau menutup. 
MANIFESTASI KLINIS
1.   Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah penis yang menyerupai meatus uretra eksternus.
2.   Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung penis.
3.   Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.
4.   Kulit penis bagian bawah sangat tipis.
5.   Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada.
6.   Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.
7.   Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.
8.   Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).
9.   Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.
 

KLASIFIKASI
Tipe hipospadia berdasarkan letak orifisium uretra eksternum/ meatus :
1.       Tipe sederhana/ Tipe anterior
Terletak di anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal.
Pada tipe ini, meatus terletak pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini bersifat asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan dilatasi atau meatotomi.
2.       Tipe penil/ Tipe Middle
Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-escrotal.
Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat melengkung ke bawah atau glands penis menjadi pipih. Pada kelainan tipe ini, diperlukan intervensi tindakan bedah secara bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada maka sebaiknya pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan bedah selanjutnya.  
3.       Tipe Posterior
Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal.
Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai dengan skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun.

 
.      PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik berupa pemeriksaan fisik. Jarang dilakukan pemeriksaan tambahan untuk mendukung diagnosis hipospadi. Tetapi dapat dilakukan pemeriksaan ginjal seperti USG mengingat hipospadi sering disertai kelainan pada ginjal.

TINDAKAN PEMBEDAHAN
Tujuan pembedahan :
Merekonstruksi penis menjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat normal sehingga aliran kencing arahnya kedepan dan dapat mengeluarkan urine dengan normal, prosedur operasi satu tahap pada usia yang dini dengan komplikasi yang minimal.

Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Teknik Horton dan Devine.
1.  Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap:
a.  Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan yang berepitel pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 ½ -2 tahun. Penis diharapkan lurus, tapi meatus masih pada tempat yang abnormal. Penutupan luka operasi menggunakan preputium bagian dorsal dan kulit penis
b.   Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah lunak. Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke glans, lalu dibuat pipa dari kulit dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari kulit preputium dibagian sisi yang ditarik ke bawah dan dipertemukan pada garis tengah. Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama dengan harapan bekas luka operasi pertama telah matang.
2.   Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar dengan penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal (yang letaknya lebih ke ujung penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian punggung dan ujung penis dengan pedikel (kaki) kemudian dipindah ke bawah.
Mengingat pentingnya preputium untuk bahan dasar perbaikan hipospadia, maka sebaiknya tindakan penyunatan ditunda dan dilakukan berbarengan dengan operasi hipospadi.
  

KOMPLIKASI
Komplikasi dari hypospadia yaitu :
  1. Komplikasi awal yang terjadi adalah perdarahan, infeksi,
  2.  jahitan yang terlepas, nekrosis flap, dan edema.
Komplikasi lanjut
  1. Stenosis sementara karena edema atau hipertropi scar pada tempat anastomosis.
  2. Kebocoran traktus urinaria karena penyembuhan yang lama.
  3. Fistula uretrocutaneus
  4. Striktur uretra
  5. Adanya rambut dalam uretra

ASUHAN KEPERAWATAN

A.     PENGKAJIAN
1.       Fisik (pra bedah)
a.      Pemeriksaan genetalia
b.      Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau pembesaran pada ginjal.
c.       Kaji fungsi perkemihan
d.      Adanya lekukan pada ujung penis
e.       Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi
f.        Terbukanya uretra pada ventral
g.       Pengkajian pasca pembedahan : pembengkakan penis, perdarahan, dysuria, drinage.
2.       Mental
a.       Sikap pasien sewaktu diperiksa
b.       Sikap pasien dengan adanya rencana pembedahan
c.       Tingkat kecemasan
d.      Tingkat pengetahuan keluarga dan pasien

B.     DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pra Bedah:
    1. Kecemasan org tua b/d krisis situasional
Pasca Bedah
    1. Resiko Infeksi b/d tindakan invasive
    2. Nyeri akut b/d cidera fisik akibat pembedahan
    3. Resiko injuri b/d pemasangan kateter atau pengangkatan kateter
    4. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis,kebutuhan pengobatan b/d keterbatasan kognitif.


C.     INTERVENSI
1.   Diagnosa 1 dan 4
Tujuan :
Orang tua mengekspresikan pemahaman ttg penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan dan perwtn di rmh

a.  Kaji tingkat pemahaman orang tua.
b.  Gunakan gambar-gambar atau boneka untuk menjelaskan prosedur, pemasangan kateter menetap, mempertahankan kateter, dan perawatan kateter, pengosongan kantong urin, keamanan kateter, monitor urine, warna dan kejernihan, dan perdarahan.
c.   Jelaskan tentang pengobatan yang diberikan, efek samping dan dosis serta waktu pemberian.
d.   Ajarkan untuk ekspresi perasaan dan perhatian tentang kelainan pada penis.
e.    Ajarkan orang tua untuk berpartisipasi dalam perawatan sebelum dan sesudah operasi (pre dan post)
2.   Diagnosa 2
Tujuan : Anak terbebas dari tanda dan gejala infeksi
a. Pertahankan teknik isolasi
b. Batasi pengunjung bila perlu
c.  Kaji gaya gravitasi urine atau berat jenis urine
d. Monitor tanda-tanda vital
e.  Kaji urine, drainage, purulen, bau, warna
f.  Gunakan teknik aseptik untuk perawatan kateter
g.  Pemberian antibiotik sesuai program
3.  Diagnosa 3
Tujuan : Anak akan memperlihatkan peningkatan rasa nyaman
                Anak dapat mengontrol nyeri
a.  Pemberian analgetik sesuai program
b. Perhtikan setiap saat yaitu posisi kateter tetap atau tidak
c. Monitor adanya “kink-kink” (tekukan pada kateter) atau kemacetan
d.  Pengaturan posisi tidur anak sesuai kebutuhannya
4.  Diagnosa 5
Tujuan : anak tidak mengalami cedera
a.  Pastikan kateter pada anak terbalut dengan benar dan tidak lepas
b.  Gunakan “restrain” atau pengaman yang tepat pada saat anak tidur atau gelisah.
c.   Hindari alat-alat tenun atau yang lainnya yang dapat mengkontaminasi kateter dan penis.

Perencanaan pemulangan
1.  Ajarkan tentang perawatan kateter dan pencegahan infeksi dengan disimulasikan.
2.  Jelaskan tanda dan gejala infeksi saluran kemih dan lapor segera ke dokter atau perawat.
3.  Jelaskan pemberian obat antibiotik dan tekankan untuk kontrol ulang (follow up).





       Angkatan X Akper Donggala >>








Tidak ada komentar: