Pengertian
Hipospadia sendiri berasal dari dua kata yaitu “hypo”
yang berarti “di bawah” dan “spadon“ yang berarti keratan yang panjang Hipospadia
adalah suatu keadaan dimana uretra terbuka di permukaan bawah penis, skrotum
atau peritonium. Hipospadia merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada 3 diantara 1.000
bayi baru lahir.
ETIOLOGI
Penyebabnya
sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab
pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa faktor yang oleh para ahli dianggap
paling berpengaruh antara lain :
1. Gangguan dan ketidakseimbangan hormon
Hormon yang
dimaksud di sini adalah hormon androgen yang mengatur organogenesis kelamin
(pria). Atau bisa juga karena reseptor hormon androgennya sendiri di dalam
tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormon androgen sendiri
telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja
tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan
dalam sintesis hormon androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama.
2. Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
3. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.
Patofisiologi
- Terjadi karena adanya hambatan penutupan uretra penis pada kehamilan minggu ke 10 sampai minggu ke 14. Hypospadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembangan uretra dalam utero
- Gangguan ini terjadi apabila uretra jatuh menyatu ke midline dan meatus terbuka pada permukaan ventral dari penis. Propusium bagian ventral kecil dan tampak seperti kap atau menutup.
MANIFESTASI
KLINIS
1. Glans
penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah penis
yang menyerupai meatus uretra eksternus.
2. Preputium
(kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung penis.
3. Adanya
chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga
ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.
4. Kulit
penis bagian bawah sangat tipis.
5. Tunika
dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada.
6. Dapat
timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.
7. Chordee
dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.
8. Sering
disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).
9. Kadang
disertai kelainan kongenital pada ginjal.
KLASIFIKASI
Tipe hipospadia berdasarkan letak
orifisium uretra eksternum/ meatus :
1.
Tipe sederhana/ Tipe anterior
Terletak
di anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal.
Pada tipe ini, meatus terletak pada
pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini bersifat asimtomatik dan
tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan
dilatasi atau meatotomi.
2.
Tipe penil/ Tipe Middle
Middle
yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-escrotal.
Pada tipe ini, meatus terletak
antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai dengan kelainan penyerta,
yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat
melengkung ke bawah atau glands penis menjadi pipih. Pada kelainan tipe ini,
diperlukan intervensi tindakan bedah secara bertahap, mengingat kulit di bagian
ventral prepusium tidak ada maka sebaiknya pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi
karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan bedah selanjutnya.
3.
Tipe Posterior
Posterior
yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal.
Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan
penis akan terganggu, kadang disertai dengan skrotum bifida, meatus uretra
terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun.
.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik berupa
pemeriksaan fisik. Jarang dilakukan pemeriksaan tambahan untuk mendukung
diagnosis hipospadi. Tetapi dapat dilakukan pemeriksaan ginjal seperti USG
mengingat hipospadi sering disertai kelainan pada ginjal.
TINDAKAN PEMBEDAHAN
Tujuan pembedahan :
Merekonstruksi
penis menjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat normal
sehingga aliran kencing arahnya kedepan dan dapat mengeluarkan urine dengan
normal, prosedur operasi satu tahap pada usia yang dini dengan komplikasi yang
minimal.
Ada banyak variasi teknik, yang populer
adalah tunneling Sidiq-Chaula, Teknik Horton dan Devine.
1. Teknik
tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap:
a. Tahap
pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan yang
berepitel pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 ½ -2 tahun. Penis diharapkan
lurus, tapi meatus masih pada tempat yang abnormal. Penutupan luka operasi
menggunakan preputium bagian dorsal dan kulit penis
b. Tahap
kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah lunak.
Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke glans,
lalu dibuat pipa dari kulit dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka
ditutup dengan flap dari kulit preputium dibagian sisi yang ditarik ke bawah
dan dipertemukan pada garis tengah. Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama
dengan harapan bekas luka operasi pertama telah matang.
2. Teknik
Horton
dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar dengan
penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal (yang
letaknya lebih ke ujung penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian
punggung dan ujung penis dengan pedikel (kaki) kemudian dipindah ke bawah.
Mengingat pentingnya preputium untuk
bahan dasar perbaikan hipospadia, maka sebaiknya tindakan penyunatan ditunda
dan dilakukan berbarengan dengan operasi hipospadi.
KOMPLIKASI
Komplikasi dari hypospadia yaitu :
- Komplikasi awal yang terjadi adalah perdarahan, infeksi,
- jahitan yang terlepas, nekrosis flap, dan edema.
Komplikasi lanjut
- Stenosis sementara karena edema atau hipertropi scar pada tempat anastomosis.
- Kebocoran traktus urinaria karena penyembuhan yang lama.
- Fistula uretrocutaneus
- Striktur uretra
- Adanya rambut dalam uretra
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
PENGKAJIAN
1.
Fisik (pra bedah)
a. Pemeriksaan
genetalia
b. Palpasi
abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau pembesaran pada ginjal.
c.
Kaji fungsi perkemihan
d.
Adanya lekukan pada ujung penis
e.
Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi
f.
Terbukanya uretra pada ventral
g.
Pengkajian pasca pembedahan : pembengkakan penis, perdarahan, dysuria, drinage.
2.
Mental
a.
Sikap pasien sewaktu diperiksa
b.
Sikap pasien dengan adanya rencana pembedahan
c.
Tingkat kecemasan
d.
Tingkat pengetahuan keluarga dan pasien
B.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pra Bedah:
- Kecemasan org tua b/d krisis situasional
Pasca Bedah
- Resiko Infeksi b/d tindakan invasive
- Nyeri akut b/d cidera fisik akibat pembedahan
- Resiko injuri b/d pemasangan kateter atau pengangkatan kateter
- Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis,kebutuhan pengobatan b/d keterbatasan kognitif.
C.
INTERVENSI
1. Diagnosa
1 dan 4
Tujuan :
Orang tua
mengekspresikan pemahaman ttg penyakit, kondisi, prognosis dan program
pengobatan dan perwtn di rmh
a. Kaji tingkat pemahaman
orang tua.
b. Gunakan
gambar-gambar atau boneka untuk menjelaskan prosedur, pemasangan kateter
menetap, mempertahankan kateter, dan perawatan kateter, pengosongan kantong
urin, keamanan kateter, monitor urine, warna dan kejernihan, dan perdarahan.
c. Jelaskan
tentang pengobatan yang diberikan, efek samping dan dosis serta waktu pemberian.
d. Ajarkan
untuk ekspresi perasaan dan perhatian tentang kelainan pada penis.
e. Ajarkan
orang tua untuk berpartisipasi dalam perawatan sebelum dan sesudah operasi (pre
dan post)
2. Diagnosa
2
Tujuan : Anak terbebas dari
tanda dan gejala infeksi
a. Pertahankan
teknik isolasi
b. Batasi pengunjung bila perlu
c. Kaji
gaya gravitasi
urine atau berat jenis urine
d. Monitor
tanda-tanda vital
e. Kaji
urine, drainage, purulen, bau, warna
f. Gunakan
teknik aseptik untuk perawatan kateter
g. Pemberian
antibiotik sesuai program
3. Diagnosa
3
Tujuan : Anak akan memperlihatkan peningkatan rasa nyaman
Anak dapat mengontrol nyeri
a. Pemberian
analgetik sesuai program
b. Perhtikan
setiap saat yaitu posisi kateter tetap atau tidak
c. Monitor
adanya “kink-kink” (tekukan pada kateter) atau kemacetan
d. Pengaturan
posisi tidur anak sesuai kebutuhannya
4. Diagnosa
5
Tujuan : anak tidak mengalami cedera
a. Pastikan
kateter pada anak terbalut dengan benar dan tidak lepas
b. Gunakan
“restrain” atau pengaman yang tepat pada saat anak tidur atau gelisah.
c. Hindari
alat-alat tenun atau yang lainnya yang dapat mengkontaminasi kateter dan penis.
Perencanaan pemulangan
1. Ajarkan
tentang perawatan kateter dan pencegahan infeksi dengan disimulasikan.
2. Jelaskan
tanda dan gejala infeksi saluran kemih dan lapor segera ke dokter atau perawat.
3. Jelaskan
pemberian obat antibiotik dan tekankan untuk kontrol ulang (follow up).
Angkatan X Akper Donggala >>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar