|
A.
PENGERTIAN
·
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi
kerusakan sel darah merah didalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit
menjadi pendek ( kurang dari 100 hari ).
·
Thalasemia
merupakan penyakit anemua hemolitik
herediter yang diturunkan secara resesif, secara molekuler dibedakan menjadi
thalasemia alfa dan beta, sedangkan secara klinis dibedakan menjadi thalasemia
mayor dan minor.
·
Talasemia merupakan
suatu penyakit darah yang ditandai dengan berkurang atau ketiadaan produksi
dari
ASUHAN KEPERAWATAN PADA SISTEM HEMATOLOGI
DENGAN
KASUS TALASEMIA
O l e h
KELOMPOK VI
Megawati
Moh.
Agus
Sabria
AKADEMI
KEPERAWATAN PEMDA DONGGALA
TAHUN 2010/2011
BAB II
TINJAUAN
TEORITIS
A.
PENGERTIAN
·
Thalasemia merupakan penyakit anemia hemolitik dimana terjadi
kerusakan sel darah merah didalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit
menjadi pendek ( kurang dari 100 hari ).
·
Thalasemia
merupakan penyakit anemua hemolitik
herediter yang diturunkan secara resesif, secara molekuler dibedakan menjadi
thalasemia alfa dan beta, sedangkan secara klinis dibedakan menjadi thalasemia
mayor dan minor.
·
Talasemia merupakan
suatu penyakit darah yang ditandai dengan berkurang atau ketiadaan produksi
dari hemoglobin normal. Talasemia biasanya terjadi di daerah-daerah dimana
terjadi endemik malaria, khususnya malaria yang disebabkan oleh Plasmodium
falciparum.
B. KLASIFIKASI
Berdasarkan gangguan pada rantai globin yang terbentuk,
talasemia dibagi menjadi :
1.
Talasemia alpha
Talasemia alpha disebabkan karena adanya mutasi dari salah satu atau seluruh globin rantai alpha yang ada. Talasemia alpha dibagi menjadi :
Talasemia alpha disebabkan karena adanya mutasi dari salah satu atau seluruh globin rantai alpha yang ada. Talasemia alpha dibagi menjadi :
·
Silent Carrier State (gangguan pada 1 rantai globin alpha).Pada keadaan ini
mungkin tidak timbul gejala sama sekali pada penderita, atau hanya terjadi
sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat (hipokrom).
·
Alpha Thalassaemia Trait (gangguan pada 2 rantai globin alpha). Penderita mungkin
hanya mengalami anemia kronis yang ringan dengan sel darah merah yang tampak
pucat (hipokrom) dan lebih kecil dari normal (mikrositer).
·
Hb H Disease (gangguan pada 3
rantai globin alpha). Gambaran klinis penderita dapat bervariasi dari tidak ada
gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan perbesaran
limpa (splenomegali).
·
Alpha Thalassaemia Major (gangguan pada 4 rantai globin aplha). Talasemia tipe ini
merupakan kondisi yang paling berbahaya pada talasemia tipe alpha. Pada
kondisi ini tidak ada rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau
HbF yang diproduksi. Biasanya fetus yang menderita alpha talasemia mayor
mengalami anemia pada awal kehamilan, membengkak karena kelebihan cairan (hydrops
fetalis), perbesaran hati dan limpa. Fetus yang menderita kelainan ini
biasanya mengalami keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.
2.
Talasemia Beta
Talasemia beta terjadi jika
terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin yang ada. Talasemia beta dibagi
menjadi :
·
Beta Thalassaemia Trait. Pada jenis ini penderita memiliki satu gen normal dan satu
gen yang bermutasi. Penderita mungkin mengalami anemia ringan yang ditandai
dengan sel darah merah yang mengecil (mikrositer).
·
Thalassaemia Intermedia.Pada kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih
bisa memproduksi sedikit rantai beta globin. Penderita biasanya mengalami
anemia yang derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.
·
Thalassaemia Major (Cooley’s Anemia).Pada kondisi ini kedua gen
mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin.
Biasanya gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang
berat.
C.
ETIOLOGI
Faktor genetik yaitu perkawinan antara 2 heterozigot
(carier) yang menghasilkan keturunan Thalasemia (homozigot).
D.
MANIFESTASI
KLINIS
1.
Pucat
2.
Kelelahan
3.
Lemas
4.
Nafas
pendek
5.
Kulit
berwarna kekuningan (jaundice) atau
berwarna keabu-abuan
6.
Deformitas
tulang wajah
7.
Pertumbuhan
lambat
8.
Perut
membusung (akibat pembesaran hati dan limpa)
E.
PATOFISIOLOGI
Hemoglobin
post natal (Hb A)
Rantai
alfa rantai
beta
Thalasemia beta Difesiensi
rantai beta
Hyperplasia
hemopoiesis Defisiensi sintesa rantai beta
Sumsum tulang eritropoiesis extramedular
Sintesa rantai alfa
perubahan
skeletal SDM rusak
splenomegali Kerusakan pembentukan Hb
limfadenopati
Anemia hemolisis Hemolisis
hemokromatosis
maturasi
seksual hemosiderolisis
Anemia Berat
& pertumbuhan
trggangu fibrosis
kulit
kecoklatan Pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang
Fe Meningkat
Hemosiderosis
Jantung liver kandung empedu pangkreas limpa
Gagal
sirosis kolelitiasis diabetes splenomegali
jantung
F.
PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK
a.
Pemeriksaan
laboratorium
Pada
hapusan darah topi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik, anisositosis,
polklilositosis dan adanya sel target (fragmentasi dan banyak sel normoblas).
Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi (IBC)
menjadi rendah dan dapat mencapai nol. Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan
tingginya HbF lebih dari 30%, kadang ditemukan juga hemoglobin patologik. Di
Indonesia kira-kira 45% pasien Thalasemia juga mempunyai HbE maupun HbS.
Kadar
bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan SGPT dapat meningkat karena kerusakan
parankim hati oleh hemosiderosis. Penyelidikan sintesis alfa/beta terhadap
refikulosit sirkulasi memperlihatkan peningkatan nyata ratio alfa/beta yakni
berkurangnya atau tidak adanya sintetis rantai beta.
b.
Pemeriksaan
radiologis
Gambaran
radiologis tulang akan memperlihatkan medula yang labor, korteks tipis dan
trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan “hair-on-end” yang disebabkan
perluasan sumsum tulang ke dalam tulang korteks.
G.
PENCEGAHAN
a.
Pencegahan
primer :
Penyuluhan
sebelum perkawinan (marriage counselling) untuk mencegah perkawinan diantara
pasien Thalasemia agar tidak mendapatkan keturunan yang homozigot. Perkawinan
antara 2 hetarozigot (carrier) menghasilkan keturunan : 25 % Thalasemia
(homozigot), 50 % carrier (heterozigot) dan 25 normal.
b.
Pencegahan
sekunder
Pencegahan
kelahiran bagi homozigot dari pasangan suami istri dengan Thalasemia
heterozigot salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan dengan sperma
berasal dari donor yang bebas dan Thalasemia troit. Kelahiran kasus homozigot
terhindari, tetapi 50 % dari anak yang lahir adalah carrier, sedangkan 50%
lainnya normal. Diagnosis prenatal melalui pemeriksaan DNA cairan amnion
merupakan suatu kemajuan dan digunakan untuk mendiagnosis kasus homozigot
intra-uterin sehingga dapat dipertimbangkan tindakan abortus provokotus.
H.
PENATALAKSANAAN
a.
Transfusi
darah berupa sel darah merah (SDM) sampai kadar Hb 11 g/dl. Jumlah SDM yang
diberikan sebaiknya 10 – 20 ml/kg BB.
b.
Asam
folat teratur (misalnya 5 mg perhari), jika diit buruk
c.
Pemberian
cheleting agents (desferal) secara teratur membentuk mengurangi hemosiderosis.
Obat diberikan secara intravena atau subkutan, dengan bantuan pompa kecil, 2 g
dengan setiap unit darah transfusi.
d.
Vitamin
C, 200 mg setiap, meningkatan ekskresi besi dihasilkan oleh Desferioksamin.
e.
Splenektomi
mungkin dibutuhkan untuk menurunkan kebutuhan darah. Ini ditunda sampai pasien
berumur di atas 6 tahun karena resiko infeksi.
f.
Terapi
endokrin diberikan baik sebagai pengganti ataupun untuk merangsang hipofise
jika pubertas terlambat.
g.
Pada
sedikit kasus transplantsi sumsum tulang telah dilaksanakan pada umur 1 atau 2
tahun dari saudara kandung dengan HlA cocok (HlA – Matched Sibling). Pada saat
ini keberhasilan hanya mencapai 30% kasus.
I.
KOMPLIKASI
Akibat
anemia yang berat dan lama, sering terjadi gagal jantung. Transfusi darah yang
berulang-ulang dari proses hemolisis menyebabkan kadar besi dalam darah tinggi,
sehingga tertimbun dalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit,
jantung dan lain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat
tersebut (hemokromotosis). Limpa yang besar mudah ruptur akibat trauma yang
ringan, kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan gagal jantung.
BAB III
TINJAUAN KEPERAWATAN
A.
PENGKAJIAN
1. Pengkajian fisik
a.
melakukan
pemeriksaan fisik
b.
kaji riwayat kesehatan, terutama yang
berkaitan dengan anemia (pucat, lemah, sesak, nafas cepat, hipoksia, nyeri
tulang, dan dada, menurunnya aktivitas, anorexia, epistaksis berlang )
c.
Kaji
riwayat penyakit dalam keluarga.
2. Pengkajian umum
a. pertumbuhan
yang terlambat
b. anemia
kronik
c. kematangan
seksual yang tertunda
3. Krisis vaso Occlusive
a.
Sakit
yang dirasakan
b.
Gejala
yang dirasakan berkaitan denganischemia daerah yang berhubungan:
- Ekstrimitas : kulit tangan dan kaki yang mengelupas disertai rasa sakit yang menjalar.
- Ekstrimitas : kulit tangan dan kaki yang mengelupas disertai rasa sakit yang menjalar.
- Abdomen
: terasa sakit
- Cerebrum
: troke, gangguan penglihatan.
- Liver :
obstruksi, jaundice, koma hepaticum.
- Ginjal :
hematuria
c.
Efek dari krisis vaso occlusive adalah:
• Cor :
cardiomegali, murmur sistolik.
• Paru –
paru : ganguan fungsi paru, mudah terinfeksi.
• Ginjal :
Ketidakmampuan memecah senyawa urine, gagal ginjal.
• Genital
: terasa sakit, tegang.
• Liver :
hepatomegali, sirosis.
• Mata
:Ketidaknormalan lensa yang mengakibatkan gangguan penglihatan, kadang menyebabkan
terganggunya lapisan retina dan dapat menimbulkan kebutaan.
•
Ekstrimitas : Perubahan tulang – tulang terutama menyebabkan bungkuk, mudah
terjangkit virus Salmonella, Osteomyelitis.
B.
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1.
Perubahan perfusi jaringan b.d
berkurangnya komponen selular yang penting untuk menghantakan oksigen murni ke
sel.
2.
Intoleransi aktivitas b.d tidak
seimbangnya kebutuhan pemakaian dan suplay oksigen.
3.
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b.d kurang selera makan.
4.
Koping keluarga inefektif b.d dampak
penyakit anak terhadap fungsi keluarga.
C.
INTERVENSI KEPERAWATAN
1.
Perubahan perfusi jaringan b.d
berkurangnya komponen seluler yang penting untuk menghantarkan oksigen murni ke
sel.
Tujuan :
Menunjukan perfusi adekuat misalnya tanda vital stabil ;
membrane mukosa warna merah muda, pengisisan kapiler baik.
Intervensi :
1.
Awasi tanda vital, kaji pengisian kapiler,warna
kulit/membrane mukosa,dasar kuku.
2.
Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi
3.
Kaji untuk respon verbal melambat, mudah terangsang,
agitasi, gangguan memori, binggung.
4.
Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan
tubuh hangat sesuai indikasi
5.
Hindari penggunaan bantalan penghangat atau botol air panas.
Ukur suhu air mandi dengan thermometer.
6.
Awasi pemeriksaan laboratorium, mis Hb.
7.
Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
Rasional :
1.
Memberikan informasi tentang derajat/keadekuatan perfusi
jaringan dan membantu menentukan kebutuhan intervensi.
2.
Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigenasi
untuk kebutuhan seluler.
3.
Dapat mengindikasikan gangguan fungsi serebral karena
hipoksia atau difisiensi vitamin B12.
4.
Vasokonstriksi menurunkan sirkulasi perifer. Kenyamanan
klien/kebutuhan rasa hangat harus seimbang dengan kebutuhan untuk menghindari
panas berlebihan pencetus vasodilatasi.
5.
Termoreseptor jaringan dermal dangkal karena gangguan
oksigen
6.
Mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan/respons
terhadap terapi
7.
Memaksimalkan transport oksigen kejaringan
2.
Intoleransi aktivitas b.d tidak
seimbangnya kebutuhan pemakaian dan suplay oksigen.
Tujuan :
Menunjukan penurunan tanda
fisiologis intoleransi, misl nadi, pernapasan, dan TD masih dalam rentang
normal.
Intervensi:
1.
Kaji kemampuan klien untuk melakukan
tugas/AKS normal, catat laporan kelelahan, keletihan dan kesulitan
menyelesaikan tugas.
2.
Kaji kehilangan/gangguan
keseimbangan gaya jalan,kelemahan otot.
3.
Berikan lingkungan tenang. Pantau dan batasi pengunjung, telepon, dan
gangguan berulang yang tak direncanakan.
4.
Ubah posisi klien dengan perlahan
dan pantau terhadap pusing
5.
Berikan bantuan dalam
aktivitas/ambulansi bila perlu, memungkinkan klien untuk melakukannya sebanyak
mungkin.
6.
Rencanakan kemajuan aktivitas dengan
klien termasuk aktivitas yang klien pandang perlu. Tingkatkan tingkat aktivitas
sesuai toleransi
7.
Gunakan teknik penghematan energy,
misalnya mandi dengan duduk.
8.
Anjurkan klien untuk menghentikan
aktivitas bila palpitasi, nafas pendek, kelemahan atau pusing terjadi.
Rasional :
1.
Mempengaruhi pilihan
intervensi/bantuan
2.
Menunjukan perubahan neurologi karena
difesiensi vitamin B12 mempengaruhi keamanan klien
3.
Meningkatkan istirahat untuk
menurunkan kebutuhan oksigen tubuh dan menurunkan regangan jantung dan paru
4.
Hipotensi postural atau hipoksia
serebral dapat menyebabkan pusing, berdenyut dan peningkatan resiko cidera
5.
Membantu bila perlu, harga diri di
tinggikan bila klien melakukan sesuatu sendiri
6.
Meningkatkan secara bertahap tingkat
aktivitas sampai normal dan memperbaiki tonus otot /stamina tanpa kelemahan.
7.
Mendorong klien melakukan banyak
dengan membatasi penyimpangan energy dan mencegah kelemahan
8.
Regangan/stress dapat menimbulkan
dekompenssasi/kegagalan
3.
Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh b.d kurang selera makan.
Tujuan :
Menunjukan peningkatan berat badan
atau berat badan stabil dengan nilai laboratorium normal.
Intervensi :
1.
Kaji riwayat nutrisi termasuk
makanan yang disukai
2.
Observasi dan catat masukan makanan
klien
3.
Timbang berat badan tiap hari
4.
Berikan makan sedikit dan frekuensi
sering.
5.
Berikan dan bantu hygiene mulut yang
baik; sebelum dan sesudah makan, gunakan sikat gigi halus untuk penyikatan yang
lembut.
6.
Konsul pada ahli gizi
7.
Berikan obat sesuai indikasi
Rasional :
1.
Menidentifikasi defisiensi, menduga
kemungkinan intervensi
2.
Mengawasi masukan kalori atau
kualitas kekurangan kosumsi makanan
3.
Mengawasi penurunan berat badan atau
efektivitas intervensi nutrisi
4.
Makan sedikit dapat menurunkan
kelemahan dan meningkatkan pemasukan juga mencegah distensi gaster
5.
Meningkatkan nafsu makan dan
pemasukan oral, menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan kemungkinan
infeksi.
6.
Membantu dalam membuat rencana diet
untuk memenuhi kebutuhan individual
7.
Kebutuhan pengganti tergantung pada
tipe anemia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar